shiro Kouji. Tujuh belas tahun. Belum lama ini, aku bertemu dengan seorang cewek bernama Amane Kaoru. Pertemuan kami tidak bisa dibilang menyenangkan. Pada saat itu, cewek itu menabrakku sehingga lenganku membentur bantalan rel kereta api, dan ia lantas mulai berceloteh mengenai dirinya sendiri—mulai dari temperamennya sampai makanan kesukaannya, pisang.


Saat itu, aku tidak begitu memedulikan cewek itu. Sungguh! Aku menganggap cewek itu hanya sebagai angin lalu saja. Namun, pada suatu malam menjelang musim panas, aku bertemu kembali dengan cewek itu. Kuperhatikan ia tengah bersenandung sembari memainkan gitar, dan aku langsung tertarik mendengarnya. Ternyata, ia cukup jago bermusik juga! Kami akhirnya menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang malam itu, dan dari situlah aku tahu kalau ia ternyata selama ini memperhatikanku dari kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya. Aku lantas berjanji untuk datang ke street performance-nya ketika libur musim panas telah tiba.
Hari pertama liburan, aku langsung membawa motorku ke depan stasiun tempat Kaoru tampil. Namun, aku tidak melihatnya memainkan gitar dan justru duduk di atas trotoar. Katika aku bertanya ada apa, ia menjawab kalau tempatnya biasa tampil telah diambil alih oleh seseorang. Aku lantas mengajaknya untuk tampil lain, dan pilihanku jatuh pada Yokohama. Kaoru tampak menikmati saat-saat berdua kami. Begitu pula aku. Aku baru sadar kalau ia ternyata adalah sosok cewek yang menyenangkan setelah menghabikan banyak waktu bersamanya. Sepulangnya dari Yokohama, ketika kami berada di atas motor, Kaoru menyandarkan kepalanya di punggungku, dan suatu perasaan aneh langsung membuatku berdegup.

Aku ingin menunjukkan keindahan panorama matahari terbit yang biasa kulihat sebelum berselancar, karena itu aku mampir di pantai sebelum mengantarkan Kaoru pulang ke rumahnya. Namun, entah kenapa ia bertingkah aneh dan justru minta pulang begitu aku memintanya tinggal. Maksudku, apa salahnya melihat matahari terbit bersama? Karena Kaoru bersikeras, aku lalu memboncengkanya dengan skuterku. Ia langsung berlari menuju rumahnya sesaat setelah kami tiba, dan ia bahkan meninggalkan kotak gitarnya! Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya ia sangat terburu-buru. Ketika aku mengejar Kaoru untuk mengembalikan kotak gitarnya, ia justru membanting pintu di hadapanku. Aku lalu menaruh kota gitar Kaoru di samping pintu, kemudian, masih dengan pikiran dipenuhi tanda tanya, berjalan turun. Ketika aku hendak menaiki skuterku, aku bertemu dengan seorang cewek berkaca mata yang kukenali sebagai adik kelasku. Ia bertanya apakah aku melihat Kaoru, jadi kujawab saja aku barusan mengantarkannya pulang. Respons adik kelasku itu—Misaki—jauh di luar bayanganku; ia terlihat kaget sekaligus murka. Misaki lalu berkata kalau Kaoru mengidap penyakit, dan dia dengan berang bertanya padaku bagaimana aku akan bertanggung jawab seandainya ia mati.

Pada awalnya, aku tidak begitu mengerti. Namun, aku lantas mulai mencari-cari penyakit macam apa yang membuat penderitanya harus menjauhi sinar matahari. Kesimpulan itu kudapat setelah aku melihat tiga hal: kebiasaan Kaoru keluar malam, reaksi cemasnya ketika aku berkata ingin melihat matahari terbit bersamanya, dan kemarahan Misaki setelah aku mengantarkan Kaoru pulang ketika matahari sudah terbit. Dari situlah aku mengetahui kalau ia menderita penyakit kulit bernama XP, yang kemudian dibenarkan oleh Misaki.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat Kaoru bermain gitar di depan stasiun sebagaimana biasanya. Itulah sebabnya aku mampir ke rumahnya pada suatu malam, tapi ia justru membentakku dan menyuruhku pulang. Setelah itu, berdasar yang kudengar dari Misaki, ia mengurung diri di kamarnya dan hanya keluar ketika makan malam saja. Aku jadi merasa bersalah melihat keadaan Kaoru yang seperti itu. Itulah sebabnya aku lantas mencari cara supaya ia dapat kembali bersemangat dan—terutama—mau menemuiku lagi. Pada akhirnya, aku menemukan sebuah solusi ketika melihat iklan tawaran rekaman. Namun, karena biaya pendaftarannya yang mencapai 200.000 yen, aku mulai berpikir untuk memperoleh uang tambahan. Hal pertama yang kulakukan adalah menjual papan luncurku. Agak sayang juga, tapi ketika aku ingat aku melakukan ini demi Kaoru, hatiku langsung merelakan papan itu. Selain itu, aku juga bekerja paruh-waktu. Pekerjaan pertamaku adalah mencuci sejumlah kapal feri milik perusahaan penyeberangan. Aku memperoleh 20.000 yen dari situ. Lumayan.

Suatu ketika, aku mengalami kejadian yang tak diduga-diduga; ayah Kaoru mengajakku makan malam di rumah mereka! Aku lalu menyampaikan rencanaku kepada Ojisan, dan dia setuju. Malam harinya, aku memberi tahu Kaoru mengenai brosur yang berisikan tawaran rekaman itu. Kaoru sempat ragu pada mulanya, tapi ia kemudian menyanggupinya.

Setelah makan malam, kami berdua lalu berjalan-jalan keluar. Merupakan suatu hal yang melegakan bagiku saat melihat Kaoru mau berbicara lagi denganku. Kami terlibat dalam pembicaraan kecil kala itu, dan begitu aku bilang aku menyukainya dan akan menemuinya pada malam hari, aku melihat ia menangis. Aku lalu mencubit kedua pipinya supaya wajahnya menampakkan eksprsi tersenyum. Pada saat itu, aku baru menyadari kalau wajah Kaoru ternyata lucu—dan juga manis. Tanpa kusadari, beberapa detik kemudian bibirku sudah mendarat di atas bibirnya.

Aku jadi semakin sering mengunjungi Kaoru pada malam hari, seperti kata-kataku. Namun, aku juga tahu kalau ia tengah mempersiapkan diri untuk CD debutnya. Itulah sebabnya beberapa minggu menjelang rekaman, aku memutuskan untuk tidak berkunjung supaya ia bisa konsentrasi berlatih. Namun, setelah berhari-hari aku tidak mendegar kabar apa pun dari Kaoru, Misaki membawa kabar yang tidak mengenakkan mengenai dirinya pada suatu ketika. Kata Misaki, kondisi Kaoru memburuk. Ia kini tidak bisa menggerakkan tangan kirinya. Aku langsung pergi untuk membesuk Kaoru di rumah pada malam harinya, dan tiba-tiba saja ia lantas bercerita mengenai pertama kali ia melihat diriku, yakni ketika aku mengagumi sebua papan seluncur yang tersandar di dekat halte bus. Aku jadi malu sendiri kalau mengingat kejadian itu karena dimarahi oleh pemilik papan seluncur itu. Lebih-lebih, Kaoru ternyata juga melihatku, rasa maluku jadi berlipat ganda!

Beberapa hari setelah kedatanganku itu, hari besar Kaoru tiba. Aku, Ojisan, Obasan, dan Misaki berbondong-bondong mengantarkannya menuju perusahaan rekaman yang berada di Tokyo. Sesampainya di sana, Kaoru lantas meminta baik aku mapun Ojisan untuk tidak melihatnya rekaman karena merasa gugup. Aku sedikit tidak rela pada awalnya, tapi karena Obasan memaksa, kami akhirnya keluar juga. Selama rekaman, Ojisan terlihat gelisah. Menurutnya, Kaoru bukanlah seorang profesional, jadi ia takut kalau-kalau putrinya itu berulang kali melakukan kesalahan. Namun, aku tahu pasti kalau Kaoru adalah seorang musisi profesional. Buktinya, waktu di Yokohama ia justru semakin bersemangat ketika orang lain mengerumuninya. Kalau orang biasa pasti sudah gemetar, kataku kepada Ojisan saat itu. Aku sendiri sangat yakin dengan kemampuan menyanyi Kaoru. Suatu saat kelak, ia pasti akan menjadi seorang bintang besar, dan baik stasiun radio, stasiun televisi, maupun orang-orang pasti akan berebut untuk memperoleh CD-nya.

Sekitar tiga bulan kemudian, CD Kaoru akhirnya dirilis. Aku dan Misaki menjadi orang pertama yang membeli CD itu, baru kemudian diikuti oleh Ojisan dan Obasan. Seperti perkiraanku, lagu Kaoru menjadi hits, dan berbagai stasiun radio memutarnya berulang kali. Namun, sayang sekali Kaoru tidak bisa melihat mimpinya menjadi kenyataan. Ia meninggal dua bulan silam, meninggalkan kenangan yang tak ada habisnya dan lagu yang amat ia sukai.

♪ Dakara ima ai ni yuku sou kimetanda
Pocket no kono kyoku wo kimi ni kikasetai
Sotto volume wo agete tashikamete mita yo
Oh Good-bye days, ima
kawaru ki ga suru kinou made ni so long
Kakkoyokunai yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you
Katahou no earphone wo kimi ni watasu
Yukkuri to nagarekomu kono shunkan
Umaku aisete imasu ka?
Tama ni mayou kedo
Oh Good-bye days, ima
kawari hajimeta mune no oku alright....
Kakkoyokunai yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you
Dekireba kanashii omoi nante shitakunai
Demo yatte kuru desho?
Sono toki egao de “Yeah hello! my friend” nantesa
Ieta nara ii no ni...
Onaji uta wo kuchizusamu toki soba ni ite I wish
Kakkoyokunai yasashi sa ni aete yokatta yo

La la la la Good-bye days....

(Karena itu, aku akan menemuimu sekarang. Itulah yang kuputuskan.
Aku ingin kamu mendengarkan nada yang kubawa dalam kantungku ini
Perlahan, aku menaikkan volume, memastikan bahwa nada itu kubawa
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang, aku merasakan berbagai hal mulai berubah, aku mengucapkan sampai jumpa hingga kemarin
Karena sebuah kebaikan yang tidak keren sudah berada di sisku
La la la la la denganmu
Aku memberikan satu sisi earphone-ku kepadamu
Perlahan, momen ini mengalir melewatimu.
Dapatkah kamu benar-benar mencintaiku?
Meskipun terkadang aku tersesat.
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang berbagai dalam hatiku mulai berubah. Baiklah...
Karena sebuah kebaikan yang tidak keren sudah berada di sisiku.
La la la la la denganmu.
Kalau bisa, sebenarnya aku tidak ingin merasakan kesedihan.
Tapi mereka akan terus mendatangiku, kan?
Pada saat seperti itu, kalau aku hanya mengucapkan, “Yeah,halo, Temanku sambil tersenyum,
Kelihatannya akan lebih bagus kalau begitu.
Pada saat kita mendengungkan lagu yang sama, aku ingin kau berada di sisiku.
Aku senang kita dapat saling bertemu, meskipun dengan sebuah kebaikan yang tidak keren.
La la la la, Selamat tinggal hari-hari....) ♪

Catatan:
Ojisan: Paman/Oom
Obasan: Bibi/Tante