6
Awal dari Sebuah Akhir


Semenjak kedatangan Kouji ke rumah tempo hari, aku seakan jadi kehilangan motivasi untuk melakukan segala hal. Nafsu makanku turun drastis, dan pemandangan halte bus yang dulu selalu membuatku tersenyum kini justru menjadi penyayat hatiku. Tidak ada lagi berjalan keluar setelah makan malam dan bernyanyi di depan statsiun dengan ditemani petikan gitar dan sebatang lilin. Aku kini lebih banyak menghabiskan waktu di kamarku ketika malam tiba—entah hanya menyenandungkan lagu ciptaanku atau melakukan hal lain yang bisa kulakukan. Seperti saat ini, sambil tidur-tiduran, aku menggumamkan laguku.

♪ Dakara ima ai ni yuku sou kimetanda
Pocket no kono kyoku wo kimi ni kikasetai
Sotto volume wo agete tashikamete mita yo... ♪

“Kaoru, makan malam!”

Itu suara Okaasan. Sudah waktunya makan malam lagi, ya? Aku paling-paling hanya akan makan sedikit seperti biasa, dan setelah itu, aku akan kembali ke kamar untuk melakukan sesuatu sampai akhirnya terlelap. Dengan perlahan, aku lalu menyusuri tangga menuju ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang makan. Kulihat Misaki tengah duduk di salah satu kursinya, dan begitu dia melihatku, dia menyapa dengan sapaan ‘Osh’-nya yang biasa. Sepupuku itu memang terkadang menumpang makan di sini, jadi bukan hal yang aneh kalau ia tiba-tiba saja muncul di meja makan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Otousan sendiri kini mendapat giliran memasak, dan berhubung ia juga menjadi koki di restorannya, aku tahu kalau kali ini kami akan makan enak. Semuanya terlihat biasa saja, dan itu sebabnya aku beranjak menuju kursi makan seperti yang biasa kulakukan. Namun, tiba-tiba saja....

“Kalau mangkuk ini bisa, kan?”

Deg! Suara Kouji! Tapi bagaimana.... Dengan segera, aku menengok ke arah sumber suara tersebut yang berada tepat di belakangku. Dan di sanalah ia, mengenakan baju polo garis-garis hijau-hitam sambil membawa setumpuk mangkuk dengan kedua tangannya. Fujishiro Kouji kini berdiri tepat di depanku!

“Yo,” sapa Kouji perlahan sambil menganggukkan kepalanya sedikit. Selama beberapa saat, aku terpana saat melihatnya berada di dalam rumahku. Kemudian, baru kusadari kalau aku hanya mengenakan piyama berlengan panjang dan celana training yang kugunakan untuk tidur seharian tadi. Itulah sebabnya aku buru-buru naik ke atas untuk mengganti baju. Aku turun sekitar sepuluh menit kemudian setelah mengganti piyamaku dengan kemeja berwarna pink dan celana jins biru tua. Setidaknya, penampilanku kini tidak seperti orang yang baru saja bangun tidur.

Piring-piring dengan hidangannya sudah tertata rapi dan semua orang—termasuk Kouji—sudah duduk mengelilingi meja makan ketika aku menghampiri mereka. Kurapikan rambut panjangku yang belum sempat kusisir secara sempurna di atas, kemudian aku mengambil tempat duduk di satu-satuya kursi yang tersedia.

“Itadakimasu,” ujarku setelah tidak ada yang bersuara selama beberapa saat. Melihatku berbicara seperti itu, Misaki langsung menyusul, dilanjutkan kemudian oleh Okaasan, Kouji, dan terakhir, Otousan. Aku hanya melihat saja saat Okaasan mulai menyendokkan salad ke piring Otousan dan piringku. Begitu pula saat Misaki berbicara kepada Otousan dengan mulut penuh udang goreng sehingga tidak ada satu orang pun yang mengerti apa yang dia bicarakan.

“Silakan, Fuji-kun, makanlah sepuasmu,” kata Okaasan menawarkan.

“Ah, terima kasih,” balas Kouji. “Semuanya terlihat enak sekali!”

“Kamu itu anak yang baik, ya,” Otousan ikut menimpali.

“Bagaimana mungkin?” balas Kouji.

“Benar, kok. Sepertinya kamu menyenangkan,” ujar Otousan.

“Ini, makanlah,” katanya lagi.

Apa ini?

Semua percakapan dan gerakan-gerakan ini seperti sudah diatur saja. Bagaimana mungkin Misaki dan Kouji bisa terlihat akrab begitu padahal sebelumnya mereka bertengkar hebat? Juga, mana mungkin Otousan menawarkan makanan kepada Kouji? “Ini aneh,” kataku pada akhirnya, “benar-benar aneh. Siapa yang memikirkan ini semua?”

“Ayahmu yang mengundangku ke sini,” jawab Kouji.

“Otousan!” seruku terkaget. “Apa yang Otousan bilang kepada Kouji?” tanyaku penuh selidik.

“Jangan marah dulu,” Kouji buru-buru menengahi.

“Tidak, aku tidak marah, kok,” jawabku. Aku lantas mengedarkan pandanganku ke semua orang yang ada di meja makan, dan ketika mataku berhenti di tempat Kouji duduk, aku lantas bertanya kepadanya, “Ada apa?” tanyaku. “Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?”

Kouji tidak langsung menjawab, tapi ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku. “Aku tidak ingin menyembunyikan ini darimu,” ujarnya sambil merogoh saku celananya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kertas dari sana.

“Nih,” katanya sembari menyodorkan kertas itu kepadaku.

Aku meraih kertas yang ada di hadapanku, kemudian membacanya dengan lebih teliti. Sebuah brosur agaknya. Tulisan besar-besar berwarna merah yang merupakan campuran huruf hiragana, katakana, dan romanji itu sontak menarik perhatianku. Bukan, bukan bentuk hurufnya atau ukurannya yang membuatku tertarik, melainkan isinya. Tulisan dalam brosur itu berbunyi:

(APAKAH KAMU INGIN MEMASUKKAN LAGU ASLIMU KE DALAM CD?)

Ini...sebuah tawaran untuk rekaman! Aku sering mendengar kalau beberapa perusahaan musik memang memberikan kesempatan bagi penulis lagu pemula untuk menelurkan CD album mereka sendiri, tapi aku belum pernah sekali pun mencoba untuk ikut serta. Aku sudah cukup sadar diri dengan penyakitku, jadi yang kulakukan hanyalah bermimpi untuk ikut masuk ke dapur rekaman. Namun, lihat apa yang Kouji bawakan untukku kini. Bukankah itu berarti ia memintaku untuk terus berusaha mewujukan impianku?

“Bagaimanapun juga,” ujar Kouji, “aku ingin mendengar suaramu sekali lagi.” Ia kemudian menggaruk-garukkan tangan kanannya di rambut. “Tapi karena aku tidak begitu cerdas, maka hanya cara inilah yang bisa kupikirkan.”

Aku memandangi brosur tersebut. Mataku mulai menjelajahi detail informasi yang tertulis di sana. Saat membaca berapa biaya pendaftaran yang harus kubayar, nafasku langsung tertahan. Bayangkan, 200.000 yen supaya laguku dapat dijadikan CD! Mahal sekali! Tentu saja; kalau kamu memperoleh sesuatu, maka kamu harus mengorbankan sesuatu pula.

“Aku mulai bekerja paruh-waktu supaya bisa membayarnya,” ungkap Kouji, “tapi, sepertinya tabunganku belum cukup.”
Apa? Dia bahkan akan membayari biayanya dengan hasil kerja paruh-waktu? Coba lihat berapa uang yang harus dikeluarkan: 200.000 yen! Jumlah itu pastilah amat besar bagi Kouji yang merupakan pelajar SMA. Maksudnya, berapa sih, upah untuk kerja paruh-waktu? Paling-paling tidak sampai 10.000 yen. Kalau dia memang benar-benar mau membayari biaya pendaftaran itu, dia harus bekerja ekstrakeras, bahkan mungkin melakukan penghematan besar-besaran.

Dan ia melakukan semua hal itu supaya aku dapat merilis CD-ku?

Kini, aku tahu kalau aku adalah seseorang yang sangat spesial di mata Kouji. Ia tidak mundur setelah tahu keadaanku yang sesungguhnya dari Misaki. Sebaliknya, ia justru berusaha sekuat tenaga untuk membantuku.

“Kalau masalah uang, sih,” sela Otousan, “jangan khawatir, aku yang akan membayar.”

“Benarkah?” balas Kouji girang yang diamini oleh Otousan. “Tapi, sepertinya akan lebih baik kalau aku sendiri saja,” lanjutnya.

“Kenapa?” tanya Otousan.

“Itu keputusanku,” Kouji menjawab sembari memandang ke arah Otousan. “Ini sesuatu yang kumulai, jadi aku ingin menuntaskannya hingga selesai.”

“Ya sudah kalau begitu.”

Setelah selesai berbincang dengan Otousan, Kouji lantas beralih kepadaku yang masih terpana dengan kata-katanya yang penuh tanggung jawab itu. Perlahan-lahan, rasa benciku kepadanya mulai mencair, dan bahkan berubah menjadi rasa kagum. “Jadi bagaimana?” tanyanya meminta persetujuanku. “Tidakkah kamu ingin memasukkannya ke CD? Lagumu itu....”

Aku terdiam. Bukankah belum lama ini aku telah memutuskan untuk membuang impianku dan tidak bernyanyi lagi? Namun, di sisi lain, aku juga sudah lama sekali memendam keinginan untuk membuat album CD-ku sendiri. Lagipula Kouji juga sudah berusaha keras untuk membayari uang pendaftaran yang jumlahnya tidak sedikit itu. Karena itulah, sambil berusaha menahan tangis terharu, aku lantas melihat ke arah Kouji dan mengangguk mantap. Ini mungkin akan menjadi kesempatanku sekali seumur hidup, jadi apa salahnya membangun kembali mimpi yang sudah kuhancurkan dan memulainya dari awal?

“Aku berhasil...,” gumam Kouji perlahan.

***

Seusai makan malam, Kouji mengajakku untuk keluar berjalan-jalan. Aku melangkah lebih dulu, sementara Kouji menyusul di belakang. Sudah agak lama juga sejak kami berjalan bersama malam-malam begini. Terakhir kali adalah waktu di Yokohama itu, ingat? Sekarang, kami kembali berduaan layaknya sepasang kekasih—dan memang itu yang sebenarnya kuinginkan! “Aku tak menyangka kamu akan berbuat sejauh ini untukku,” aku memulai pembicaraan.

“Tidak mengapa.”

“Terima kasih, ya,” kataku. Kouji hanya membalas dengan terkekeh. “Aku ingin tahu, bisakah orang sepertiku...,” lanjutku sambil terus berjalan.

“Heh?” seru Kouji dari belakang.

“Rasanya, aku tidak mungkin melakukan hal ini,” aku membalas. “Kalau orang sepertiku...,” sambungku. Aku kemudian berjalan melintasi rel tempat kami pertama kali bertemu. Untuk beberapa saat, aku terus melangkah, tapi aku kemudian berhenti saat tak kudengar langkah Kouji mengikutiku. Benar saja; dia berhenti tepat di seberang rel. “Kenapa? Apa aku salah bicara?” tanyaku kepadanya.

Kouji tidak mengiyakan, tidak pula membantah. Alih-alih begitu, dia menjawab dengan jawaban lain. “Aku menyukaimu.”

“Heh?” balasku. Aku memang menginginkan Kouji mengatakan hal itu, tapi tetap saja aku merasa kaget ketika mendengarnya.

“Meskipun keadaanmu seperti ini,” ia membalas dari seberang rel. “Jika malam tiba, mari kita bertemu!” tambahnya.

Aku terdiam menanggapi kata-kata Kouji. Kenapa? Kenapa Kouji berbuat begini untukku? Apakah karena dia menyukaiku?

“Tidurlah ketika siang, dan ketika matahari terbenam...,” Kouji melanjutkan,” aku akan menemuimu.”

Si Bodoh itu.... Dia sudah melakukan banyak hal untukku, dan bahkan ia rela untuk pergi keluar malam-malam hanya sekadar untuk menemuiku? Kenapa...? Aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku kini, dan sebelum aku menemukan kata itu, perlahan-lahan kurasakan dua butir air mulai mengalir dari pipiku. Cepat-cepat kuangkat tangan kananku untuk menyekanya sambil memalingkan wajah. Aku tak ingin Kouji mendapatiku menangis.

“Hei,” panggil Kouji sambil beranjak ke arahku. Aku pun dengan segera menjauh darinya supaya ia tidak bisa melihat bekas air mata di mukaku. “Kenapa? Kamu menangis?” tanya Kouji sambil mengejarku.

“Tidak, aku tidak menangis,” aku menyangkal.

“Kamu menangis, kan?”

“Sudah kubilang aku tidak menagis,” jawabku sambil kembali mengelak darinya.

“Biar kulihat wajahmu,” Kouji berkata sambil sedikit memaksaku. Aku sempat lolos dari tangannya, tapi kemudian, ia berhasil meraihku sekali lagi. “Jangan menangis,” ujarnya berusaha menghiburku. Dipandanginya bola mataku agak lama, dan setelah itu, ia mencubit kedua pipiku seraya berkata, “Ayo, tersenyumlah!”

Aku mengejapkan mataku sekali. Entah mengapa aku justru semakin ingin menangis saat Kouji memintaku untuk tersenyum. Kouji sendiri justru tertawa setelah melihat wajahku.

“Wajah yang aneh,” gumamnya.

Masih dengan perasaan tak karuan, aku hanya bisa menanggapi kata-kata Kouji itu dengan sebuah kata. “Jahat,” balasku. Aku tidak tahu mengapa kata itu yang pertama kali terlintas di benakku; mungkin karena dia justru tertawa saat melihatku menangis. Kouji kembali memandangi wajahku selama beberapa saat sebelum akhirnya melepaskan tangannya dari pipiku dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Kemudian, kami berciuman.

Di sini, di rel kereta tempat pertama kali kami bertemu, Kouji menempelkan bibirnya di atas bibirku. Darahku serasa berdesir dan perasaan hangat perlahan-lahan mulai menyelimutiku. Ini pertama kalinya aku dicium di bibir oleh seorang cowok, dan rasanya mendebarkan sekaligus menyenangkan! Kamu berciuman agak lama, sekitar satu menit. Kouji lantas dengan lembut melepas ciumannya dari bibirku dan lalu mengulurkan tangannya untuk merengkuhku. Perlahan, air mataku kembali menetes. Selama hidupku, baru kali ini aku tahu bahwa ternyata ada seorang cowok yang benar-benar tulus mencintaiku meskipun ia sudah mengetahui keadaanku yang sesungguhnya. Sekarang, dari saat ini, aku akan mengakhiri semua masa laluku; impianku, hubunganku dengan Kouji, dan segala hal lainnya akan kuhentikan malam ini juga. Sebagai gantinya, aku akan mengganti semua itu dengan sesuatu yang baru—benar-benar baru dan berbeda dengan yang lampau.

Ya, Kouji, Inilah awal dari diriku yang baru!