Posted by : Dewi Otaku Sabtu, 21 Januari 2012


Pada suatu malam di musim panas, aku terbangun dari tidurku dengan perasaan tidak biasa. Hari ini adalah tanggal 20, dan artinya, liburan musim panas sudah dimulai. Itu berarti pula, Kouji akan datang menonton street performance-ku seperti yang pernah ia janjikan tempo hari! Aku sudah menanti-nantikan hari ini, dan bahkan aku memberikan tanda khusus di kalender yang tergantung di lantai satu. Dengan gembira, aku berjalan ke depan stasiun tempat aku biasa bermain sembari menenteng kotak gitarku (yang entah kenapa jadi terasa ringan). Namun, ketika aku menjejakkan kakiku di sana....

“Thank you, Kamakura! Terima kasih telah mendukungku! Aku Dynamite Yamazaki, dan tolong dengarkan dua laguku ini! Nama lagunya adalah ‘Ore no Namae wa Global Standard—Namaku Global Standard’. 1, 2, 3, 4...!”

Seorang lelaki yang menamakan dirinya Dynamite Yamazaki (atau apa pun itu, aku tak peduli) sudah berada di sana terlebih dahulu. Ia mengenakan topi pet, kaos hitam bertuliskan Speedway di dadanya, dan—ini yang lebih buruk lagi—di tangannya terdapat gitar listrik bising yang membuat telingaku merana. Lebih-lebih ketika ia mulai memainkan lagunya (Global Standard? Kukira namanya Dynamite Yamazaki?), aku lebih baik disuruh mencuci piring di restoran milik Otousan selama seminggu penuh daripada harus mendengarkan lagu berantakan itu. Maksudku, selain lagunya yang memang amat sangat hancur, caranya menggunakan gitar listrik itu, loh... benar-benar payah dan tanpa selera sama sekali! Sayangnya, karena tempat yang dipakainya itu merupakan satu-satunya tempatku tampil, maka aku mau tak mau harus menunggu sampai si Dinamit resek ini selesai dengan penampilannya. Mana katanya dia punya dua lagu, lagi. Benar-benar menyebalkan, rasanya dia ingin kubunuh!

“Hei!”

Aku tengah duduk termangu (dengan hati yang kesal) sambil menyaksikan penampilan Dinamit itu ketika aku mendengar seseorang memanggilku. Kouji! Dia ternyata benar-benar datang seperti janjinya kemarin! Yah, setidaknya kedatangan Kouji dapat membuat hatiku sedikit terhibur. Meskipun begitu, tetap saja ada yang mengganjal. Bukankah dia datang untuk melihat street performance-ku?

“Ada apa?” tanya Kouji.

“Dia mengambil tempatku.”

Kouji menoleh sejenak untuk melihat yang kumaksud dengan dia (tentu saja, ‘dia’). “Kamu selalu tampil di sini?” ia kembali bertanya sebelum akhirnya mengambil tempat duduk di sampingku. Aku lantas menggeser tubuhku sedikit menjauhinya dengan dua alasan. Pertama, memberikan ruang lebih agar Kouji bisa duduk dengan lebih nyaman. Kedua, menurunkan rasa gugup yang tiba-tiba melandaku. Selama beberapa saat, kami berdua lalu memperhatikan penampilan Dynamite Yamazaki saat menyanyikan lagu Global Standard (yang rusak) itu.

“Dia benar-benar jelek,” kata Kouji tiba-tiba. Tuh, kan! Ternyata bukan aku saja yang berpikiran kalau lagu itu merupakan sebuah produk gagal. Bukankah akan lebih baik kalau aku yang tampil di sana saja seperti biasanya? Meskipun begitu, alih-alih membalas, aku tetap diam sambil terus memandang ke arah Dynamte Yamazaki. Aku terlalu malu untuk menjawab komentar Kouji atau bahkan menoleh ke arahnya!

Melihatku tidak mengucapkan apa pun, Kouji lantas kembali berbicara, “Kamu mau menunggu sampai dia selesai?”

“Mau bagaimana lagi?” jawabku. Sedikit demi sedikit, rasa kesalku mulai berubah menjadi rasa kecewa. Kalau begini caranya, Kouji tidak akan bisa melihat penampilanku, dan aku juga tidak bisa bernyanyi di depannya. “Meskipun aku sangat menanti-nantikan hari ini...,” aku kembali berbicara setelah menghembuskan nafas panjang.

Mendengar kekesalanku, Kouji lantas membisu. Ia tidak menjawab, tidak pula menanggapi. Namun, tak lama kemudian, ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. “Tentang penampilanmu...,” ujarnya, “memangnya kamu tidak bisa tampil di tempat lain?”

“Eh?”

Kouji lalu berdiri dari tempat duduknya dan lalu menyuruhku untuk mengikutinya. Meskipun bertanya-tanya dalam hati, aku tetap mengambil kotak gitarku dan melakukan apa yang dia katakan. Ia ternyata menuntunku ke sebuah tempat parkir di mana ia memarkir skuternya. Setelah mengeluarkan skuter itu, Kouji kemudian menyodorkan sebuah helm kepadaku seraya berkata, “Nih.”

Dengan segera, aku mengambil helm dari tangan Kouji dan lalu memasangkannya di kepalaku. Apa ini berarti aku akan naik skuter berdua dengan Kouji? Wah, pasti menyenangkan! “Ini pertama kalinya aku naik motor,” ujarku sambil berusaha mengaitkan helm Kouji (omong-omong, apa dia selalu membawa dua helm, ya?). Selama ini, memang tak pernah ada yang memboncengiku. Otousan tidak punya motor, lebih-lebih Misaki. Dia bahkan tidak punya SIM untuk mengendarai motor. Namun, sekarang aku berkesempatan untuk naik motor, hanya berdua dengan cowok yang kusenangi!

“Benarkah?” tanya Kouji heran. Betul juga. Jarang sekali ada cewek seusiaku yang sampai sekarang belum pernah naik motor. Itulah sebabnya aku juga mengalami kesulitan saat mengaitkan helm Kouji; aku belum pernah mengenakan benda itu sebelumnya! Melihatku berkali-kali gagal untuk memasang hem dengan benar, Kouji lantas mengulurkan tangannya untuk membantuku mengaitkan helm. “Menggelikan,” ujarnya berkomentar. Bagi Kouji, perbuatannya mengaitkan helm itu mungkin sederhana, tapi tidak demikian bagiku. Jarak mukanya yang hanya beberapa senti dari mukaku lebih dari cukup untuk membuat jantungku berdetak dua kali lenih cepat. Aku terpana sejenak melihat muka Kouji yang begitu dekat, dan baru tersadar kembali saat Kouji menepuk kepalaku setelah berhasil memasang helm dengan sempurna. Aku terpekik kecil ketika Kouji melakukan hal itu. “Ayo pergi!” kata Kouji seraya menaiki skuternya.

Dengan perlahan, aku lantas menaiki boncengan motor Kouji. Aku memang harus sedikit berhai-hati, karena kalau tidak, kakiku akan menyenggol kotak gitarku yang terpasang di motor Kouji dan berakibat menjatuhkannya. “Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Ke suatu tempat yang asyik. Ayo!” jawab Kouji. Ia menghidupkan mesin skuternya, dan tak lama kemudian, kami berdua sudah meluncur ke suatu tempat yang masih menjadi tanda tanya bagiku.

***

Setelah selama perjalanan aku merasakan angin berhembus menerpa wajahku (jadi ini rasanya naik motor?) plus debaran jantung yang tak karuan, akhirnya motor Kouji berhenti juga. Ini...kota? Aku melihat sekeliling ke tempat yang baru ini, dan baru kusadari kalau ini adalah Yokohama. Itu berarti, untuk pertama kalinya, aku berada di luar Kamakura!

Dibandingkan dengan Kamakura, Yokohama terlihat sangat berbeda. Tempat ini jauh lebih ramai, lebih meriah, dan lebih benderang. Di sini, terdapat bianglala raksasa berhiaskan lampu warna-warni yang indah. Begitu pula gedung-gedung tinggi yang mengeluarkan cahaya dari jendela-jendela mereka. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan! Semua ini berkat Kouji. Karena dialah aku kini bisa melihat suatu tempat yang baru, tidak hanya di depan stasiun seperti biasanya. Kurasa aku juga harus berterima kasih kepada Dynamite Yamazaki itu. Kalau saja ia tidak mengambil tempatku sejak awal, Kouji tentu tidak akan membawaku ke Yokohama. “Hey,” seruku kepada Kouji yang tengah berdiri di samping motornya, “mumpung kita berada di kota, kenapa kita tidak berjalan-jalan saja?”

Kemudian, dimulailah “petualangan kecil malam hari” kami di Yokohama. Karena aku baru pertama kali ke sini, ada banyak sekali yang ingin kulakukan. Untungnya, Kouji dengan sabar mau menemaniku. Ia mengantarkanku menelusuri jalan-jalan Yokohama yang gemerlap dan dipenuhi berbagai macam toko yang menjual barang-barang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kouji juga membelikan bakpau panas untuk kami makan berdua, memanduku melihat-lihat kapal di pelabuhan, dan juga mengajakku untuk bermain air hockey. Aku sempat tertinggal satu angka dalam permainan itu, tapi kemudian, aku dapat menyamakan skor setelah Kouji gagal menahan mallet yang kupukul dengan pluck-nya. Rasanya memyenangkan sekali! Aku banyak memperoleh berbagai pengalaman baru malam ini, dan aku melakukannya bersama dengan seorang cowok yang kusukai! Kurasa, kalau Kouji tak keberatan, aku akan menganggap ini sebagai kencan pertamaku.

Kami lantas kembali berjalan, dan ketika melewati sekelompok musisi jalanan yang tengah memainkan sebuah musik, aku jadi teringat street performance-ku. Bukankah Kouji mengajakku ke sini supaya aku bisa tampil? Kami berada di sini karena tempatku biasa bermain di depan stasiun sudah diambil, dan ia membawaku ke sini supaya bisa melihatku memainkan lagu buatanku, kan? Ah, bodohnya aku. Berada bersama cowok itu memang benar-benar menyenangkan sampai-sampai aku melupakan tujuan awalku kemari. Kalau saja aku tidak melihat para musisi jalanan itu, aku pastilah hanya akan membawa gitarku berkeliling Yokohama dan bukannya memainkannya!

Dengan setengah berlari, aku kemudian melangkahkan kakiku menuju sebuah plaza yang terletak tak jauh dari situ. Kuedarkan pandanganku untuk mencari tempat yang bisa kugunakan untuk melakukan street performance. Ketemu! Tempat di depan sebuah billboard berlukiskan bunga matahari sepertinya sempurna. Aku lantas berjalan ke sana, membuka kotak gitarku, dan lalu mulai mengambil nafas untuk bernyanyi.

♪ Chotto dake kangae sugichau mitai
Nemure nai heya no naka
Issomou yoru wo tobi dashite mitai
Madobe ni tameiki ga ochiru
Tsuki akari wo nukete tooku made
Habataite mitai no ni
Doushitara ii no darou?
I want to fly well
I want to fly well
Tobi kata wo shira nai dake...
I want to fly well, I want to fly well
Dareka oshiete kuretara
Ii no ni
Chansu wo machi kire nai
Onaji asa wo kurikaeshite
Ikutsu kazoeta darou
Egaite yuku skyline
Tobi kata wa shira nai yo
Toberu kamo wakara nai yo
I want to fly well, I want to fly well
Dakedo yuku yo
I want to fly well, I want to fly well
Tobi kata wo shiru tame ni wa...
I want to fly well, I want to fly well
Sora ni denakucha ike nai
To skyline

(Kurasa aku berpikir terlalu banyak
Di tengah-tengah kamar di mana aku tak dapat tidur
Aku hanya ingin kabur dari malam hari
Di samping jendela, keluhanku terjatuh
Aku ingin pergi ke suatu tempat yang jauh sekali
Hingga melintasi cahaya rembulan
Apa yang harus kulakukan?
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Hanya saja aku tidak bisa
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Kalau saja ada seseorang yang mengajariku
Aku tidak akan menunggu kesempatan
Pagi yang sama yang terus terulang lagi dan lagi
Aku berpikir, sudah berapa banyak aku menghitungnya?
Sampai-sampai tergambar sebuah pencakar langit.
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Aku tidak tahu bagaimana caranya terbang
Aku bahkan tidak tahu kalau-kalau aku bisa terbang
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Tetapi, aku akan tetap melakukannya.
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Supaya aku dapat terbang,
Aku ingin terbang dengan baik
Kau harus pergi ke langit, ke pencakar langit.) ♪

Begitu aku selesai dengan lagu pertamaku, aku langsung mendengar suara tepuk tangan dan sorak sorai puluhan orang yang kini tengah mengerumuni kami. Ini...luar biasa! Penampilanku belum pernah disaksikan orang hingga sebanyak ini sebelumnya! Jika aku tampil di depan stasiun, yang menontonku paling hanyalah Misaki atau satu dua orang lainnya, tapi di sini? Aku serasa menjadi musisi jalanan profesional!




Melihat banyak orang yang sangat antusias dengan street performance-ku, aku lantas memutuskan untuk memberikan tambahan satu lagu ekstra. Toh tidak tiap hari aku ke sini, jadi tak ada salahnya, kan? Aku duduk di lantai plaza tersebut dan menyalakan sebatang lilin yang kubawa dari rumah—kebiasaanku sebelum mulai bermain—kemudian mengangkat mukaku. Dengan sedikit ekspresi keraguan, aku lantas menoleh ke arah samping, ke sosok Kouji yang kini tengah terduduk bersama beberapa penonoton lain. Kouji langsung membalas dengan anggukan yang menghangatkan hatiku. Anggukan itu seakan-akan juga sekaligus memintaku untuk tidak ragu-ragu lagi dan mulai bermain. Kuulaskan seberkas senyum di wajahku, setelah itu, aku mulai memetik gitarku.

♪Dakara ima ai ni yuku sou kimetanda
Pocket no kono kyoku wo kimi ni kikasetai
Sotto volume wo agete tashikamete mita yo
Oh Good-bye days, ima
kawaru ki ga suru kinou made ni so long
Kakkoyokunai yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you
Katahou no earphone wo kimi ni watasu
Yukkuri to nagarekomu kono shunkan
Umaku aisete imasu ka?
Tama ni mayou kedo
Oh Good-bye days, ima
kawari hajimeta mune no oku alright....

(Karena itu, aku akan menemuimu sekarang. Itulah yang kuputuskan.
Aku ingin kamu mendengarkan nada yang kubawa dalam kantungku ini
Perlahan, aku menaikkan volume, memastikan bahwa nada itu kubawa
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang, aku merasakan berbagai hal mulai berubah, aku mengucapkan sampai jumpa hingga kemarin
Karena sebuah kebaikan yang tidak keren sudah berada di sisku
La la la la la denganmu
Aku memberikan satu sisi earphone-ku kepadamu
Perlahan, momen ini mengalir melewatimu.
Dapatkah kamu benar-benar mencintaiku?
Meskipun terkadang aku tersesat.
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang berbagai dalam hatiku mulai berubah. Baiklah...) ♪

Setelah aku selesai dengan laguku yang kedua, Kouji lalu mengajakku untuk pulang ke Kamakura. Katanya, ia ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Aku setuju, dan kami lantas kembali mengendarai skuter Kouji pulang ke Kamakura. Malam ini...malam ini betul-betul membahagiakan! Kalau aku dulu pernah bilang malam yang paling membuatku bahagia adalah ketika aku bercakap-cakap dengan Kouji tempo hari, maka kurasa aku salah; malam yang inilah yang paling membuat hatiku bahagia. Aku tidak hanya bermain gitar di tempat baru yang Kouji tunjukkan kepadaku, tapi aku juga memperoleh banyak pengalaman baru, dan—ini yang lebih penting—aku melakukan semua ini bersama Kouji! Dengan perlahan, aku mengulurkan tanganku untuk melingkarkannya di pinggang Kouji, kemudian dengan perlahan pula, aku menyandarkan kepalaku di punggung cowok itu. Mataku terpejam dan bibirku tersenyum, pertanda aku sangat menikmati street performance-ku kali ini. Street performance yang bukan hanya penampilan biasa di depan stasiun dengan hanya ditemani sebatang lilin, melainkan sebuah street performance spesial bersama Kouji yang tidak akan kulupakan, dan mungkin tidak akan bisa kuulangi untuk kedua kalinya. Fujishiro Kuoji. Cowok yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jendela lantai dua kamarku kini berada tepat di depanku, dan aku kini tengah memeluknya!

***

Ketika kami tiba di Kamakura, Kouji tidak langsung mengantarkanku kembali ke rumah, tetapi ia menghentikan skuternya di tempat parkir pinggir pantai. Oh, ya, betul juga. Dia bilang dia akan menunjukkan sesuatu padaku. Kami kemudian duduk berdua di tangga yang mengarah pantai sembari menikmati suara deburan ombak dan angin pantai malam hari yang sejuk.

“Hei, di masa depan,” ujar Kouji kepadaku, “apa kamu mau merilis CD debutmu?”

Aku berpikir sejenak mendengar pertanyaan Kouji barusan. Itu adalah keinginanku sejak dulu, tapi karena penyakitku ini, mana mungkin aku melakukannya? “Masa depan, ya,” ujarku lirih, “aku ingin mencobanya...”

“Wah, hebat, ya!” balas Kouji. Ia membetulkan posisi kakinya sejenak, kemudian melanjutkan, “Tidak seperti aku yang tak bisa apa-apa.”

“Hm?”

“Hidupku akan terus begini, biasa-biasa saja,” Kouji menjawab, “dan akhirnya aku akan mati dengan biasa-biasa saja juga.”

Aku terdiam setelah Kouji berkata seperti itu. Bagiku, dapat hidup saja merupakan sebuah anugerah, tapi Kouji sepertinya memandangnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ah, tentu saja. Dia tidak menderita penyakit yang membuatnya dapat meninggal jika terkena sinar matahari. “Bukan seperti itu,” aku menyela, tegas.

“Heh?”

“Mulai sekarang, lakukanlah sesuatu. Kamu bisa melakukan apa pun!”

“Benarkah?” tanya Kouji.

“Itu betul. Kamu pasti akan menemukan sesuatu yang benar-benar ingin kaulakukan,” jawabku, “ini baru awalnya saja.” Oh, betapa aku ingin mengatakan itu kepada diriku sendiri....

Mendengarku berbicara seperti itu, Kouji lantas termenung. “Hm... betul juga,” ujarnya, “ternyata, pola pikirku sederhana sekali, ya,” ia menambahkan. Sepertinya, kata-kataku barusan telah memberikan semacam inspirasi bagi Kouji. Baguslah kalau begitu. Kami lantas terdiam selama beberapa saat, tapi tiba-tiba saja Kouji bangkit dan dengan lantang berseru ke arah laut, “Namaku Fujishiro Kouji,” serunya, “aku tidak mempunyai pacar, dan hobiku adalah berselancar.” Setelah itu, ia tidak mengatakan apa pun lagi dan lalu beralih ke aku. Ia menatap mataku dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya dengan wajah bersemu kemerahan, “Maukah kamu berkencan denganku?”

Ini... ini... adalah sebuah pernyataan suka! Dadaku berdebar dua kali lebih cepat setelah Kouji menyelesaikan kalimatnya. Pipiku rasanya langsung menjadi panas. Apakah ini mimpi? Kouji, cowok yang kusukai, akhirnya menembakku! Kalau ini mimpi, aku tidak ingin terbangun, tapi untunglah ini bukan mimpi; ini kenyataan! Dan kenyataannya sekarang adalah Kouji baru saja mengajakku untuk pergi berkencan dengannya! “Ya,” ujarku mengangguk mantap. Aku tersenyum setelah itu. Dia juga. Di saat aku melihatnya tersenyum itulah aku tahu kalau perasaan kami berdua sudah saling tertaut, dan aku juga tahu kalau aku telah menemukan sebuah alasan lain untuk hidup selain untuk menciptakan lagu dan memainkannya di depan stasiun setiap malam.

“Seharusnya sekarang sudah waktunya,” kata Kouji setelah ia mengatakan kalimat yang membuatku serasa meninggalkan bumi saking senangnya. Sudah waktunya? Apa yang dia maksud dengan itu? “Pemandangan di sini sangat indah waktu matahari terbit.”

“Hah!” aku berseru terkaget. Matahari terbit? Rasanya aku baru pergi bersama Kouji selama beberapa jam saja, jadi mana mungkin matahari akan segera terbit!

“Kita bisa melihatnya dari sini, hm, sekitar sepuluh menit lagi,” balas Kouji.

“Bohong,” ujarku. Aku kembali terpana untuk kedua kalinya. Sepuluh menit lagi? Bagaimana mungkin waktu sudah berlalu secepat itu? Dengan sedikit bergetar, aku mengangkat pergelangan tanganku untuk melihat jam tangan sambil berharap kalau perkataan Kouji tidaklah benar. Namun, ternyata dia betul. Jam tanganku menunjukkan waktu setengah enam; hanya beberapa menit sebelum matahari terbit. Tiba-tiba saja badanku terasa bergetar. Bagaimana mungkin? Seharusnya, jam itu sudah berbunyi jauh sebelum matahari terbit, tapi kenapa kali ini.... Dengan perasaan waswas, aku kemudian bangkit dan mengarahkan pandannganku ke langit timur.

“Mungkin kapan-kapan kamu bisa melihatku seluncur di atas ombak....”

“Aku harus pulang,” sergahku. Matahari akan terbit dalam beberapa menit, dan aku tidak punya waktu lagi! “Kalau aku tidak pulang sekarang...,” kata-kataku terhenti. Tenggrokanku tercekat. Tidak, aku tidak ingin membayangkan hal itu!

“Kenapa? Kamu masih punya waktu luang, kan?” balas Kouji
Aku memang tidak memiliki apa pun untuk kulakukan di rumah setelah matahari terbit, tapi aku harus berada di rumah ketika itu. “Tolonglah, aku ingin pulang...”

“Sebentar lagi saja, kok.”

Deg! Jantungku serasa terhenti mendengar Kouji berkata seperti itu. Sudah jelas, ia ingin agar aku dapat tinggal dan melihat matahari terbit besama dengannya. Seandaninya saja aku bisa, aku pasti dengan senang hati akan melakukannya. Perlahan, aku melangkah menjauhi Kouji dan mulai berjalan meninggalkannya. Aku harus berada di rumah sebelum matahari itu terbit, dengan atau tanpa Kouji!

Begitu sadar aku tengah meninggalkannya, Kouji berseru memanggilku. “Kenapa?” tanyanya. Alih-alih menjawab, aku justru berlari. Aku tidak memiliki waktu lagi, bahkan hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan Kouji. Cowok itu pun dengan segera juga berlari untuk mengejarku. “Tunggu!” ia berteriak. Diraihnya lenganku ketika ia berhasil menjajariku, kemudian dengan sedikit panik, ia lantas melanjutkan, “Aku mengerti, aku akan mengantarmu pulang!”

“Maaf, ya,” balasku. Aku tidak mau menunggu sampai Kouji mengantarku pulang. Yang ada di pikiranku sekarang adalah mencapai rumah sebelum terbit matahari, itu saja! Karena itulah aku kemudian menampikkan lengannya dan melanjutkan berlari. Kubawa kakiku menderapi jalan pinggir pantai Kamakura. Nafasku terengah-engah, dan tungkaiku bergetar. Aku ingin berhenti saking lelahnya, tapi aku tidak bisa. Kalau berhenti, maka matahari akan berhasil menyusulku! Namun, aku tidak kuat lagi. Akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti sejenak supaya dapat mengambil nafas. Bagaimana ini? Langit sudah mulai menerang, sementara aku masih berada di luar. Aku bingung. Lebih dari itu, aku panik. Dalam keadaan kalut seperti itu, tiba-tiba aku mendengar suara motor mendekatiku.
Itu...Kouji!

“Ayo,” serunya kepadaku dari atas skuternya. Aku segera naik ke boncengan motor Kouji tanpa membuang waktu lagi, dan ia pun dengan segera mengegas skuternya ke arah rumahku. Hatiku semakin diliputi perasaan tidak nyaman saat matahari sedikit demi sedikit mulai tampak. Ayo, cepatlah, batinku dalam hati. Aku harus tiba di rumah lebih dulu sebelum matahari berada di langit.

Ketika skuter Kouji tiba di depan rumahku, aku langsung turun dan lalu berlari menaiki tangga. Tak kupedulikan seruan Kouji yang mengingatkan kalau gitarku masih ia bawa. Aku tidak peduli; nyawaku jauh lebih penting daripada gitar itu. Perlahan-lahan, aku melihat hari sudah semakin terang, dan aku tahu kalau waktuku sudah habis. Tolonglah, aku memohon dalam hati, hanya tinggal sedikit lagi. Aku tinggal beberapa langkah saja dari pintu rumahku, jadi biarkan aku masuk melewati pintu itu! Kulihat matahari dengan sinar kemerahannya sudah mulai nampak, yang berarti sedikit atau banyak aku pasti akan terkena sinarnya. Sedikit lagi. Kupercepat langkahku, dan ketika aku berhasil tiba di depan pintu, cepat-cepat kumasuki pintu itu.

Aku selamat.

Kouji datang dengan tergopoh-gopoh sambil menenteng kotak gitarku beberapa saat kemudian, tapi terlambat. Aku sudah terlanjur menutup pintu—aku membanting pintu tepat di depan mukanya! Setelah itu sunyi. Tak kudengar ia memanggilku lagi atau sekadar mengetuk pintu. Alih-alih begitu, yang kudengar justru langkah kakinya yang semakin menjauh. Inikah akhirnya? Apakah Takdir memang tidak memperkenankanku menyukai Kouji? Menyadari hal itu, lututku jadi terasa lemas. Ditambah dengan perasaan lega, takut, dan khawatir yang bercampur jadi satu karena aku berhasil menghindari sinar matahari, perlahan-lahan air mataku mulai meleleh. Aku menangis. Terduduk. Sendirian.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Blogroll

Join this site

Labels

About Me

Foto Saya
Hanya pelajar Multimedia yang menyukai Anime dan tertarik dengan IT.

Visitor

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Dewi's Random Blog -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan