Terakhir
Goodbye Days


Sekitar satu setengah bulan kemudian, hari besarku akhirnya tiba juga. Ya, hari ini adalah hari ketika aku akan pergi ke studio rekaman untuk membuat CD debutku. Aku sudah berlatih secara intensif akhir-akhir ini, jadi aku yakin sekali dengan kemampuan menyanyiku. Namun, tetap saja aku merasa sedikit gugup. Bagaimana kalau ketika rekaman nanti, suaraku tidak keluar? Ah, tidak mungkin. Sampai sekarang pun aku masih berbicara, kok. Tapi, bagaimana kalau orang di perusahaan rekaman memintaku untuk bermain gitar? Atau bagaimana kalau tiba-tiba aku ambruk ketika bernyanyi? Atau bagaimana kalau... ah, sudahlah, Kaoru! Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi, ujarku berusaha menenangkan diri. Setelah agak tenang, aku lalu beranjak ke bawah untuk menemui Otousan yang tengah memanaskan mobil. Untunglah perusahaan rekaman itu buka hingga larut malam sehingga kami bisa berangkat setelah petang.

Setelah merasa siap dengan semuanya, kami lantas berangkat ke Tokyo tempat di mana perusahaaan rekaman itu berada. Yang kumaksud dengan kami di sini bukan hanya aku dan Otousan saja, melainkan juga Okaasan, Kouji, dan bahkan Misaki. Mobil Otousan yang tidak begitu besar sampai penuh karena harus menampung lima orang sekaligus. Misaki sendiri selama perjalanan tidak henti-hentinya bercerita banyak hal mengenai Tokyo. Menurutnya, Tokyo adalah kota besar yang sibuk, dan ketika malam tiba, kota itu akan diterangi oleh berbagai lampu yang bahkan lebih banyak daripada Yokohama. Cerita Misaki itu membuatku penasaran. Apalagi Kouji juga bercerita sedikit mengenai Tokyo Tower yang terkenal itu. Ah, aku jadi ingin cepat-cepat sampai di sana!

Kami sampai di Tokyo beberapa jam kemudian (akhirnya!), dan aku langsung membuktikan kebenaran kata-kata Misaki dan Kouji. Tokyo benar-benar cantik, lebih cantik dari Yokohama. Banyak gedung-gedung besar dan berbagai lampu neon berwarna-warni di sekeliling jalanan. Namun, yang membuatku terkagum adalah Tokyo Tower yang tadi sempat disinggung-singgung Kouji. Menara itu benar-benar cantik, apalagi saat badannya bermandikan cahaya lampu berwarna merah dan kuning seperti sekarang ini! “Wah, indah sekali!” Spontan, aku berseru terkagum ketika melihat menara itu.

“Kamu tidak perlu kaget begitu, kan?” kata Otousan sambil tertawa kecil. Aku sendiri hanya mengulum senyum mendengar kata-kata Otousan. Biar saja! ujaku dalam hati. Toh ini pertama kalinya aku melihat Tokyo Tower. Cewek Jepang berumur enam belas tahun lain mungkin sudah sering melihat atau bahkan mengunjungi menara itu, tapi karena aku baru kali ini melihat Tokyo Tower secara langsung, jadi apa salahnya mengaguminya?
Karena ini merupakan kunjungan pertamaku di Tokyo, Otousan memutuskan untuk terlebih dahulu berputar-putar mengelilingi kota itu. Misaki dan Okaasan menerangkan berbagai macam hal setiap kali aku menanyakan sesuatu yang menarik perhatianku, meskipun Misaki sebenarnya lebih banyak bercerita tanpa kuminta. Namun, pengenalan terhadap kota Tokyo itu tidak bisa berlangsung lama karena aku masih harus pergi ke perusahaan rekaman untuk membuat CD debutku. Bukankah tujuan awal kami datang ke Tokyo memang untuk itu? Itulah sebabnya aku lantas meminta Otousan untuk mengarahkan mobil menuju studio rekaman itu. Aku tidak ingin perusahaan itu sudah keburu tutup saat kami tiba di sana hanya karena kami keasyikan melihat-melihat kota ini!

Begitu kami menjejakkan kaki di perusahaan rekaman itu, aku langsung terkesan dengan interiornya. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu mahoni coklat muda, memberikan kesan hangat dan homy bagi siapa pun yang memandangnya. Namun, itu belum seberapa jika dibandingkan dengan studio rekaman yang dimiliki perusahaan tersebut. Berbagai peralatan rekaman yang terlihat canggih dan mahal tertampang di ruangan itu. Sekumpulan orang yang menjadi band pengiringku terlihat tengah berlatih di dalam ruang rekaman tempat aku akan bernyanyi sebenatar lagi. Dan di sana, di tengah-tengah ruang rekaman, sebuah mikrofon berdiri tegak—seakan-akan menyambutku untuk mulai berjalan menuju impianku.

“Wow, seperti album perdana saja,” komentar Misaki setelah menelusuri studio rekaman tempat kami berada sekarang. Di tangannya, terdapat handycam yang sengaja ia bawa dari rumah. Handycam itu tadinya akan ia pakai untuk mengambil gambarku ketika sedang rekaman, tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku jadi tidak setuju. Rasanya, aku akan menjadi gugup kalau dia mensyutingku, dan tentu saja itu akan memengaruhi performaku! Sekarang pun sebenarnya aku mulai disergap rasa gugup. Ini adalah batu loncatan menuju impianku, jadi merupakan suatu hal yang wajar kalau aku merasa seperti itu, kan?

“Semuanya akan baik-baik saja,” ucap Kouji menenangkanku. Aku menelan ludahku sejenak setelah mendengar kata-kata Kouji. Setelah itu, aku mengangguk perlahan. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk meyakini kata-kata Kouji, yakni semua ini akan berjalan lancar. Ya, aku hanya perlu percaya akan hal itu, dan semuanya pasti akan baik-baik saja!

Lima menit kemudian, seorang staf dari perusahaan rekaman masuk ke studio dan memberi tahu kami agar bersiap karena proses perekaman akan segera dimulai. Hatiku semakin berdebar dan perasaanku semakin tak karuan. Tenang, Kaoru, tenanglah. Kalau kamu gugup seperti ini, bisa-bisa kamu mengacaukan semuanya. Karena itu, bertenanglah....

“Semoga berhasil,” Otousan turut memberikan dukungan kepadaku. Kemudian, ia berjalan menjauhiku untuk duduk di sofa yang memang tersedia di ruang studio rekaman. Otousan mengangkat tangan kanannya untuk membetulkan rambut, setelah itu melanjutkan berkata, “Kami akan melihatnya dari sini, jadi....”

“Aku mulai gugup, jadi tolong pergilah,” selaku. Jujur saja, perbuatan Otousan itu sama sekali tidak membantuku meredakan ketegangan. Justru sebaliknya; kalau ia menontonku bernyanyi, aku malah akan semakin gugup!

“Apa?”

“Tolonglah,” pintaku.

Otousan terlihat tidak rela dengan pengusiranku barusan.

“Kamu...,” ujarnya sambil mengarahkan telunjuknya kepadaku, “bahkan hingga sekarang, kamu tidak membiarkan kami mendengarnya?”

“Tolong dengarkan kata-katanya, Ojisan,” sergah Kouji. Ia mengambil tempat duduk di samping Otousan, lalu setelah itu berkata kepadanya, “Aku yang akan menontonnya, jadi...”

“Kamu juga, Kouji, pergilah,” kataku sambil tersenyum kecil.

“Heh? Aku juga?” seru Kouji. Dapat kulihat tangannya kini menunjuk pada dirinya sendiri.

“Akan lebih baik kalau kau mendengarnya setelah CD-nya dirilis,” balasku, masih sambil memasang tampang tersenyum.

“Tapi kenapa...?”

“Baik, baik, ayo kita semua pegi,” tiba-tiba Okaasan mengambil tindakan dengan mengajak baik Otousan maupun Kouji berdiri. Ia menggiring keduanya menuju pinu keluar dengan tangan kanan sementara tangan kirinya merengkuh pundak Misaki.

“Aku juga?” tanya Misaki

“Tidak apa-apa, ayo kita pergi,” kata Okaasan lagi. Sebentar kemudian, mereka bertiga sudah keluar dari studio rekaman, meninggalkanku berdua dengan staf perusahaan rekaman. Baguslah. Aku jadi bisa fokus pada rekamanku.

“Kalau begitu, bisa kita mulai sekarang?” tanya staf itu kepadaku. Aku mengangguk sebagai jawaban, dan ia lantas mengantarkanku masuk ke dalam ruang rekaman. Dadaku berdebar semakin keras seiring dengan langkahku. Aku menarik nafas panjang supaya dapat mengontrol diri. Tenang, Kaoru. Yang perlu kamu lakukam hanyalah menyanyi seperti biasa, itu saja! Kamu tidak perlu mengkhawatirkan instrumen, semua itu sudah diurus oleh band pengiring. Kamu sudah sampai hingga sejauh ini, jadi jangan kecewakan semua orang!

“Kamu yang menulis lagu ini?” tanya seorang cowok berbadan kekar dan berkaos merah sembari menghampiriku.
“Judulnya...Goodbye Days?”

“Iya,” jawabku.

Cowok itu mengamat-amati sebuah kertas yang berisikan partitur laguku, kemudian ia lantas berkomentar, “Lagumu bagus.”

“Benarkah?” aku berseru kegirangan. “Terima kasih!”

Cowok itu mengangguk kecil, lalu beralih ke anggota band yang lain. “Kalau begitu, mari kita lakukan,” serunya. Kalimat cowok itu juga sekaligus menjadi pertanda bagiku untuk bersiap-siap memulai rekaman. Aku lantas mendekati mikrofon berpenyaring nafas yang berada di tengah-tengah ruangan. Kuhembaskan nafas panjang sejenak, setelah itu, aku mengenakan headset yang tersambung dengan kolaborasi instrumen band yang tengah memainkan bagian pembuka lagu. Ini dia, Kaoru; dari titik ini, semuanya akan bermula. Aku menarik nafas sekali lagi, dan setelah itu mulai melepaskan suaraku.

***

Satu bulan sudah berlalu sejak aku menyambangi perusahaan rekaman itu, dan hingga saat ini, aku belum menerima satu pemberitahuan pun mengenai CD debutku. Hal itu sebenarnya wajar kalau mengingat ada puluhan—bahkan ratusan—lagu lain yang mengantre untuk dijadikan CD. Bukan, aku bukannya tidak sabaran karena ingin cepat-cepat melihat CD-ku dilepas di pasaran. Aku hanya ingin melihatnya sebelum aku pergi. Ya, selepas kunjunganku ke perusahaan rekaman sebulan silam, perlahan tapi pasti kondisiku semakin memburuk. Dokterku berkata kalau ia tengah mengusahakan yang terbaik agar aku bisa tetap beraktivitas sebagaimana biasanya, tapi aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Dibandingkan dengan dokterku yang notabenenya merupakan orang lain, aku tentu saja jauh lebih mengenal diriku sendiri. Dan aku merasa kalau waktuku sudah semakin dekat.

Pada suatu hari, Kouji memberitahuku kalau sebuah perusahaan pembuat alat-alat selancar kecil telah setuju untuk menjalin kerja sama dengannya setelah ia memenangi sebuah lomba selancar lokal. Dia berkata di telepon kalau perusahaan itu akan menjadi sponsor uji cobanya selama satu tahun ke depan. Selain itu, ia juga berkata kalau ia sekarang telah memiliki sebuah baju selancar keren dari sponsornya itu. Kukatakan kalau aku mau melihatnya mengenakan baju itu, jadi ia menjanjikanku akan datang pada suatu malam sambil membawanya. Namun, aku tidak ingin melihat Kouji hanya memakai baju itu di rumahku; aku ingin melihat ia memakai baju itu di atas ombak. Itulah sebabnya, pada suatu siang, aku memutuskan untuk memakai baju pelindungku dan meminta Okaasan dan Otousan untuk membawaku ke pantai. Pada awalnya, mereka sempat kaget dengan permintaanku itu, tapi setelah aku berkata kalau ini mungkin menjadi kesempatan terakhirku melihat Kouji beraksi di atas papan selancarnya, mereka akhirnya setuju.

Jadi di sinilah aku dengan baju antimatahariku, terduduk di atas kursi roda yang diletakkan di atas pasir pantai.

Okaasan dan Otousan menungguiku di belakang kursi roda, sementara aku memperhatikan Kouji berselancar dengan pakaian khusus selancar barunya. Namun, aku tidak hanya memperhatikan Kouji. Aku hampir tidak pernah berada di luar pada siang hari, jadi aku menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin untuk mengamati suasana siang hari. Aku ingin dapat merasakan siang hari dengan mata kepalaku sendiri, bukan hanya sekadar dari video Misaki. Aku ingin dapat melihat laut di siang hari. Aku ingin dapat melihat awan di siang hari. Dan aku ingin dapat melihat matahari di siang hari. Melalui plastik pelinding wajahku, aku mendongakkan kepalaku ke arah lingkaran besar bercahaya yang selama ini kuanggap musuh itu. Sudah terlalu lama aku menghindari matahari, dan kupikir, ini kesempatan yang tepat untuk menyapanya.....

“Akh!”

Seruan Kouji dari tengah ombak membuatku kembali mengalihkan perhatianku kepadanya. Ia sepertinya terpeleset ketika hendak berdiri di atas papan selancarnya, dan akibatnya, ia terjatuh ke dalam air. Tidak butuh waktu lama hingga kepala Kouji kembali menyembul dari air, dan karena Kouji melambaikan tangannya kepadaku sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja, aku lantas membalas lambaian tangannya pula.

Tiba-tiba, aku mulai merasakan kegerahan menyergapku. Baju ini memang terasa sedikit tidak nyaman ketika dipakai, tapi berkat tiga buah kipas yang berada di punggung, setidaknya aku menjadi tidak kepanasan. Namun, entah kenapa aku merasa sebaliknya. Aku lantas mengibar-ngibarkan bagian depan bajuku untuk menghasilkan sebuah angin, yang tentu saja memancaing perhatian Okaasan dan Otousan.

“Kenapa?” tanya Otousan kepadaku.

“Aku merasa sedikit kepanasan,” jawabku.

Okaasan langsung berdiri menghampiriku. “Apakah kipasnya bekerja?” tanyanya sambil mengecek bagian ventilasi bajuku. Ia melakukan sesuatu pada kipas itu, dan sebentar kemudian, rasa panas itu mulai menghilang. Tampaknya kipasnya memang tersendat.

“Kalau kamu merasa tidak nyaman dengan baju itu,” ucap Otousan, “lebih baik dilepaskan saja.”

“Apa?” tanyaku dan Okaasan hampir berbarengan. Kenapa Otousan berkata seperti itu?

“Lepaskan saja, lepaskan,” lanjut Otousan. “Kalau kamu melepasnya, kamu tidak akan merasa kepansan lagi. Kamu juga bisa berlari dengan bebas.”

Aku terdiam sejenak mendengar kalimat Otousan yang kurasa ganjil itu. Aku tidak tahu mengapa Otousan mengatakan hal semacam itu—dan aku juga tidak peduli—tapi aku kemudian menanggapinya dengan menggeleng. “Tidak,” balasku. “Kalau aku melakukan itu, maka aku pasti mati,” aku melanjutkan. Pada awal-awal masa remajaku, aku memang sering berpikir kalau hidupku ini tak berarti, dan terkadang merasa lebih untuk mati. Namun itu dulu, sebelum aku mengenal gitar. Semenjak itu, aku merasa memperoleh arti baru dalam hidupku, dan bahkan harapan dan impian baru. Lebih-lebih setelah aku bertemu Kouji, aku dengan segera melupakan keinginan masa laluku itu. “Aku...aku telah memutuskan untuk terus menjalani hidupku hingga aku mati,” ujarku. “Sebab, aku ingin mempertahankan hidup ini dengan segala hal yang aku bisa.”

Otousan langsung melihatku begitu aku selesai mengucapkan kata terakhir. Begitu pula Okaasan, pandangannya dengan segera langsung tertuju ke arahku.“Itu benar,” komentar Okaasan. Aku dapat melihat sebuah senyuman kecil terkembang di wajahnya. “Okaasan tidak tahu kenapa, tapi Otousan menjadi bodoh.”

“Benar,” imbuh Otousan kepadaku. Ia tampak menyesal sendiri setelah melontarkan pernyataan seperti itu. Tentu saja, kalau aku benar-benar melakukan apa yang ia utarakan, maka Otousan pasti akan menyesal seumur hidup! “Maafkan Otousan....”

Sesaat setelah Otousan meminta maaf, aku melihat Kouji sudah keluar dari laut dan kini tengah berjalan ke arahku. Aku lantas beringsut dari kursi roda supaya dapat menghampirinya. Okaasan dengan sigap membantuku, dan dalam waktu sebentar saja, aku sudah melangkahkan kakiku menuju Kouji. Kouji sendiri menatapku dengan pandangan khawatir saat aku berjalan dengan tertatih-tatih ke arahnya.

“Oh,” seruku. Aku tersandung ketika melangkah, dan Kouji dengan sigap langsung menjatuhkan papannya untuk menangkapku sebelum terjatuh. Namun, aku tidaklah terjatuh karena yang kulakukan hanyalah pura-pura tersandung. Aku hanya ingin melihat reaksi Kouji saja. “Bagaimana? Aku datang, kan?” sambil meunduk, aku bertanya kepada Kouji yang kini tengah bersiap menagkapku. Menyadari kalau aku hanya berpura-pura, ekspresi Kouji langsung berubah menjadi aneh. Is seperti kaget dengan gerakanku barusan dan sekaligus lega karena aku tidak jadi jatuh. Aku tersenyum lebar melihatnya. Kuulurkan tangan kananku untuk mencubit pipi Kouji, dan sambil menertawainya, aku lantas berkata, “Wajah yang aneh!”